
peserta Unas SMA 2016
SeputarMalang.Com – Sejak 2003, pelaksanaan ujian nasional (unas) berkalikali mengalami proses tarik ulur. Ada indikasi kuat bahwa unas tidak murni soal pendidikan. Saya ingin memulai tulisan ini dengan menceritakan kronologis singkat moratorium UNAS yang sempat digulirkan oleh Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy.
8 Juli 2003. UU No 20/2003 tentang Sisdiknas disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pasal 58 ayat (1) menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik di lakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sedangkan pasal 59 ayat (1) menegaskan, pemerintah serta pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
15–17 Juli 2003. Berlangsung rapat kerja nasional (rakernas) Depdiknas 2003 di Bogor. Salah satu butir keputusan rakernas adalah ditetapkannya sekolah setempat (SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA) sebagai pelaksana ujian akhir nasional (UAN) mulai 2004. Menurut Mendiknas Abdul Malik Fadjar, pihaknya hanya memberikan pedoman dan beberapa materi soal UAN yang harus diujikan sekolah sesuai standar nasional serta tidak ada lagi UAN ulangan. Depdiknas juga akan membentuk lembaga penjamin mutu pendidikan (LPMP) untuk menilai pelaksanaan UAN di sekolah. Jika sekolah tidak serius melaksanakan UAN, akreditasi UAN sekolah dinyatakan rendah.
14 Oktober 2003. Mendiknas menerbitkan Surat Keputusan (SK) No 153/U/2003 tentang UAN 2004 yang sangat bertentangan dengan hasil rakernas tiga bulan sebelumnya. Satu-satunya keputusan rakernas yang dipenuhi dalam SK tersebut adalah penghapusan UAN ulangan. Tapi, ketentuan itu kemudian dicabut dengan SK No 037/U/2004 yang dikeluarkan Mendiknas setelah ada respons (baca: ancaman) dari DPR. Akhirnya, UAN 2004 tetap dilaksanakan di tengah berbagai kritik dan penolakan karena diwarnai praktik konversi nilai yang minim sosialisasi serta transparansi.
4 Mei 2004. Dalam forum dengar pendapat dengan jajaran Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Komisi VI DPR (bidang pendidikan dan kebudayaan) menghapus alokasi anggaran untuk pelaksanaan UAN 2005.
16 Mei 2005. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP No 19/2005 yang menjadi ”benteng yuridis” pelaksanaan unas. Hingga 2015, PP itu telah mengalami perubahan dua kali. Yakni, PP No 32/2013 dan PP No 13/2015. Selama 2005–2015, fungsi unas sebagai penentu kelulusan mengalami dinamika dan berbagai perubahan standar nilai.
25 November 2009. Mahkamah Agung merilis salinan putusan kasasi No 2596 K/PDT/2008. Terbitnya putusan MA itu seharusnya cukup menjadi dasar penghentian unas. Tapi, pemerintah abai dan tetap melaksanakan unas.
25 November 2016. Mendikbud Muhadjir Effendy melontarkan rencana moratorium unas. Keputusan akhir masih menunggu rapat terbatas yang akan dipimpin Presiden Jokowi.
Moratorium UNAS
Moratorium unas bertepatan dengan pengalihan pengelolaan sekolah menengah atas dari pemkab/pemkot ke provinsi. Ini juga menjadi semacam koreksi atas ’’kebangkrutan’’ model unas.
Jika dihitung sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), polemik seputar ujian nasional (unas) telah berlangsung selama 13 tahun. Tarik-menarik antara pemegang kuasa politik dan para akademisi pun telah berlangsung selama itu. Tapi, tetap saja, pelaksanaan unas sebagai instrumen pemetaan dan uji mutu pendidikan belum menemukan bentuk yang baku.
Karena itu, meski masih perlu dimatangkan dalam rapat terbatas, keberanian Mendikbud Muhadjir Effendy melontarkan rencana moratorium unas patut diapresiasi. Apalagi, sudah ada mekanisme pengganti unas, yakni ujian sekolah berstandar nasional (UASBN) yang berlaku mulai tahun depan. Kelulusan ditentukan sekolah sendiri dengan standar yang ditentukan secara nasional. Ujiannya seluruh mata pelajaran. Bukan hanya pilihan ganda, tapi juga esai untuk mengevaluasi daya pikir kritis.
Setidaknya, ada dua pertimbangan yang membuat kebijakan moratorium tersebut patut diapresiasi. Pertama, dalam pelaksanaan Unas 2016, Mendikbud Anies Baswedan pendahulu Muhadjir Effendy telah membukakan ’’pintu masuk’’ dengan menghapus fungsi unas sebagai salah satu penentu kelulusan. Jadi, sebagaimana diakui Muhadjir, rencana moratorium tersebut bisa dibaca sebagai kelanjutan kebijakan menteri sebelumnya.
Kedua, rencana moratorium itu dimunculkan pada momen yang tepat. Yakni, peralihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi pada 1 Januari 2017.
Dengan demikian, rencana kebijakan yang oleh Presiden Joko Widodo disebut desentralisasi unas tersebut mengindikasikan adanya semangat integrasi dan sinkronisasi kebijakan pendidikan antara pusat dan daerah.
Diakui atau tidak, sejak satu dekade lalu, argumen pedagogis-akademis dari pihak-pihak yang mempertahankan unas sebagai (salah satu) penentu kelulusan sebenarnya telah mengalami kebangkrutan. Hanya kuasa politiklah yang membuat kebijakan tersebut tetap dipertahankan.
Untuk melegitimasi kuasa politik itu, pemerintah mencoba ’’kucing-kucingan’’ dengan membangun ’’benteng yuridis’’ melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang mereduksi dan mendistorsi ketentuan mengenai evaluasi hasil belajar peserta didik sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (1) UU Sisdiknas.
Sayang, ’’benteng’’ itu juga ambruk menyusul adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 atas gugatan citizen lawsuit yang diajukan Kristiono dan 57 orang lainnya. Putusan MA yang dirilis pada 25 November 2009 tersebut merupakan hat-trick gugatan Kristiono dkk sejak dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 Mei 2007.
Dalam amar putusannya, MA secara tegas memerintah para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan unas lebih lanjut. Para tergugat yang dimaksud adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Soehendro.
Dengan kata lain, sejak sewindu lalu, pelaksanaan unas sebenarnya merupakan kebijakan yang salah kaprah. Sudah jelas salah, tapi telanjur di anggap kaprah. Dan, sekali lagi, hanya kuasa politik yang membuat salah kaprah itu bisa terus berlanjut hingga saat ini.
Praktik pelaksanaan unas yang diilustrasikan seperti standar lompat tinggi, sebagaimana diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sudah terbukti gagal selama satu dekade terakhir. Yang terjadi, sekolah berlomba memaksa anak didik seluruh Indonesia, termasuk di daerah pelosok, untuk melompat sesuai dengan standar (yang diukur berdasar perspektif Jakarta) meski harus melakukan praktik ’’doping’’ dan berbagai kecurangan.
Dalam sejarah pelaksanaan UAN, hampir tidak ada satu tahun pun yang terlewati tanpa praktik kebocoran dan kecurangan. Bahkan, Unas 2015 sempat heboh karena diwarnai kebocoran soal di internet yang memaksa Kemendikbud berkirim surat kepada Google untuk memblokir tautan Google Drive yang berisi paket soal unas. Setiap tahun, panitia pelaksana dan peserta unas hampir selalu beradu cerdik seperti serial film Tom and Jerry.
Untuk selanjutnya, pada tataran kebijakan, pemerintah perlu melakukan redesentralisasi pengelolaan pendidikan yang selama ini terpasung praktik sentralisasi secara halus dan perlahan-lahan (soft-centralization). Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1) UU Sisdiknas juga bisa dikembalikan ke lintasan asalnya.
Hanya, pemerintah mesti menyadari bahwa langkah moratorium itu akan membawa konsekuensi kerugian ekonomi hingga ratusan miliar rupiah yang dinikmati ribuan tutor dan pengelola bimbingan belajar. Sebab, diakui atau tidak, ’’kultur ketakutan’’ yang tercipta dari model pelaksanaan unas selama ini telah menghasilkan kue ekonomi dengan omzet yang menggiurkan.